Mendesir Bersama Angin Tentang Romansa Glamor di Atas Tebing: Tiga Bulan untuk Selamanya

30 October 2011

Rasanya pengen berteriak lantang di tebing batu yang menjorok di atas pantai berpasir putih dengan ombak berdebur pada sepanjang garisnya. Kedua lengan terentang ke atas, jari mengepal, sweater tipis yang tidak dikancingkan melambai oleh angin menciptakan pemandangan yang begitu filmis melankolis so [sok] romantis. “Aku berhasil, aku berhasil, aku berhasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiillll!!!” (Mendadak Dora *DoratheExplorer tontonan adek bungsu gue zaman dulu*).

Gubrak.

I did it anyway. “I’m in, I’m in, I’m iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin”.

*sudah cukup hentikan segala keterlarutan dalam euforia yang absurd dan ga penting*

Atau berseru ala pahlawan kemerdekaan, “Wahai Pemuda, terangi sepenjuru desa dengan obor untuk memberi penerangan pada para gerilyawan! Beri tanda pada mereka bahwa kita sudah berhak menyarungkan bambu runcing, karena kita telah bebas. Siapkan baju terbaik kalian, siapkan kacang rebus dan kopi untuk berpesta, karena hari ini kita telah merdeka!”. (Mana ada pesta apalagi ajojing clubbing untuk merayakan kemenangan karena telah merdeka di zaman begitu).

Saking girangnya jadi melenceng ke mana-mana.

I got what I want. Not exactly the one that I want. But it’s closer. Waaaay closer.

“Aku diterima di sebuah penerbitan, Saudara-saudari senasib seperjuangan! Hell yeah!”

Oh, itu toh. Kirain ada apa.

Bahagia banget serasa melangit ke galaksi Bimasakti. Berbunga-bunga tanda bungah ketika aku akhirnya ternyata punya meja kerja sendiri (semoga tidak untuk sementara waktu, melainkan semoga tiga bulan untuk selamanya—meminjam judul film Tiga Hari untuk Selamanya starred by Mas imut Nicholas Saputra) di markas penerbit yang berlokasi di bilangan Beji Timur, Depok.

Tapi, kebahagiaan atas romansa khayal keglamoran hidup yang mendadak kuterima seketika itu juga amblas hingga ke kerak bumi terdalam yang paling inti (hellooow, lapisan menuju inti bumi ada berapa lapis ya? Ratusaaaaaaannn #korbaniklan… Note: Oh, jumlah lapisan ga ngaruh, atau ngaruh-nya dikit banget, kan yang penting kedalamannya sampai berapa ratus ribu kilometer! Mari kita gubrak massal sekali lagi. Ahayy.)

Baiklah, kita langsung longkap ke Pendahuluan saja. (Ini memang bisa menjadi tulisan semacam karya ilmiah tugas akhir undergraduate-thesis-like alias mirip-mirip dikit ma skripsi, dengan analisis ala cewek absurd dan pendekatan pemikiran acak-kadut mellow slow dangdut kompilasi sweet rock mix reggae). Tapi bagian Pembahasan-nya harap direka-reka sendiri ya, di sebelah mananya? Entah di paragraf berapaaa gitu.

Semua dilema ga penting pun kulalui setelah diberi dan menerima tantangan pekerjaan terbaruku. Mulai dari problema remeh-temeh macam ongkos transportasi yang lebay hingga yang lumayan berat untuk dipanggul (siap-siap latihan angkat barbel 5 gram, hoh?). Fokusnya adalah ketika dihadapkan pada situasi setelah beberapa hari setia pada kereta commuter line, dicanangkanlah program (Alhamdulillah yah, sesuatu!) pengurangan jadwal KRL oleh pihak-pihak yang “diharapkan” berwenang menanganinya, yang lalu membuatku girang harus naik motor Bogor-Depok lewat jalan tikus—yang menurut ayahku dipenuhi dengan “setan-setan” pengendara motor (padahal aku bos-nya “setan” lho, Yah. Nyengir memelas).

Jadi begini, dari rumahku (rumah my mami-papi sebetulnya *sigh*) yang kebetulan berlokasi di Bogor, untuk sampai ke tempat kerja yang sekarang di Depok, ada pilihan utama untuk memanfaatkan transportasi massal yang berjudul KaReL alias KRL yang merupakan singkatan dari (sesuai kebiasaan orang Indonesia yang gemar sekali menyingkat dan mengakronim hingga menciptakan istilah-istilah yang ajaib) Kereta Rel Listrik. Untuk itu, pagi harinya aku diantar my hunny bunny bokap sampai stasiun Bojong Gede untuk naik KRL lalu tiba di stasiun Depok Baru aku naik angkutan kota D01 diteruskan berjalan kaki menuju kantor. Pulangnya mengambil rute yang berkebalikan namun menyusuri jalur yang sama, naik angkutan kota D01 ke stasiun Depok Baru, naik KaRel ke stasiun Bojong Gede. Nah, bedanya di sini aku naik angkutan kota dua kali, nomor 31 dan berlanjut ke nomor 32, sampai di gerbang kompleks minta dijemput sama adek atau ibuku (oh yeah, aku masih anak mami dan anak papi, ya iyalah, masa anak orang lain? Selama masih belum menikah, manfaatkan kesempatan untuk berlama-lama mengakrab-akrabkan diri dengan keluarga kandungmu/keluarga yang menaungi juga mengayomi dirimu selama ini—my own motto!). Entu die yang bikin ongkos transportasiku jadi alay lebay. Lalu, sudah pe-we (posisi wuenak) naik-turun angkutan umum sejak masuk kerja tanggal 3 Oktober, beberapa hari kemudian kulihat poster besar terpampang di stasiun Depok Baru berisi pengumuman tentang pengurangan jadwal KRL. Di situ disebutkan bahwa pengurangan jadwal akan dimulai pada tanggal 19 Oktober dan berakhir pada 29 November. Dan tertulis pula himbauan agar khalayak pecinta kereta untuk menggunakan alternatif transportasi massal lainnya pada tanggal-tanggal tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pihak berwenang adalah pihak jawatan KAI berencana menambah daya listrik di beberapa gardu listrik stasiun. Hal itu demi pelayanan yang lebih baik ke depannya, antara lain bisa menambah gerbong pada rangkaian kereta, juga menambah jadwal operasi kereta. Oh, oke, itu masuk akal, dan sebagai salah satu “anak sepur” baru, aku benar-benar berharap itu sungguh-sungguh terealisasi, Nah begitulah Saudara-Saudari, dimulailah petualanganku naik motor dengan izin khusus yang dikeluarkan berkat pengurangan jadwal KRL (terutama commuter line) yang hanya beroperasi dua rangkaian dari yang tadinya enam rangkaian pada jam-jam sibuk pk. 06.30-08.00. Oke, daripada makin melenceng, sudah saatnya untuk mengesampingkan penggalauan yang random itu, maka tibalah kita pada Rumusan Masalah.

Rumusan masalah karena it’s a bit hectic split little thing. Why? Karena eh karena, aku memulai karier (semoga) di penerbit ini sebagai SEKRETARIS REDAKSI. (Lagi-lagi, yuk gubrak massal. Ohoy, woyooooo).

Kebayang kan bagaimana titel itu pantasnya disandang sama siapa? Oke, coba bayangin dulu deh. Kuberi waktu 5 detik, pasti amat sangat cukup. Karena sudah tergambar jelas di pelupuk mata atawa pupil mata atau iris mata or whichever it is: cewek modis luwes terampil tangkas lincah kaya bola bekel loncat ke sana kemari. Ya kan, ya nggak, iya dong? Jujur sajah, image-nya sekretaris kan (kebanyakan) begitu. Hahay.

Sementara

Image gue di mata masyarakat luas itu, adalah guru. Yah, semua yang berkait dengan bidang kependidikan gitu deh. Tapi, karena sekarang sedang ga berhasrat ngobrolin penampilan ataupun fisik, kita stop bahasan ini sampai di sini.

*Peringatan penulis: mulai dari sini, harap bersiap-siap merasakan atmosfer yang gloomy sad sadis*

Menjawab kegalauan di awal tentang di mana bab pembahasannya, di bagian ini (mungkin) Pembahasan. Dibilang juga ini cuma mirip-skripsi. Jangan protes dech. And so, here we go (again).

Aku sudah mengalami banyak hal. Memang sih pengalamanku tidak sebanyak kawan lain sebayaku yang sudah melanglang buana dan merasakan petualangan mencengangkan dan membuat bulu kuduk merinding. Atau, atau, atau, mengecap hal-hal seru penuh kekoplakan yang tak kan habis diceritakan pada anak-cucu-cicit kelak.

Sedangkan

Sudah beberapa lamanya aku ditindas oleh pandangan dan komentar langsung yang merendahkan kapabilitas diriku.

(Mengenai kesuraman ini, panjang lebarnya bisa dirunut di bawah, karena kita lebih dulu akan menelusuri jejak rekam masa-masa aktifku sebagai seorang manusia yang efektif dan efisien—nyengir lebar cengengesan ga penting)

Oh well, aku pada dasarnya orang yang ngga bisa diam saja. Memang aku pendiam dan pemalu, tapi bila berdiam diri tanpa aktivitas, hidupku berasa galau (ahahay). Track record-ku berorganisasi cukup lumayan, memang sih ga sehebat dan ga sekeren adek-adekku yang karena berkah dari pengalaman berorganisasinya bisa keliling-keliling Indonesia. Dari Rohis (yang notabene di bawah OSIS), sekaligus di majalah sekolah (lagi-lagi di bawah asuhan OSIS)—keduanya saat masih di SMUN 2 Semarang, ketika kuliah cukup senang jadi “pengayom yang adem ayem dan (berusaha tetap bersikap) manis terhadap mereka yang dianggap sebagai ‘biker’ alias biang kerok” di BLM, lalu sliweran ga penting “sok sibuk” dalam kegiatan kemahasiswaan di bawah payung BEM, seperti berproses bersama kerabat Teater Karoeng dan EDC (semacam conversation club ala anak Sastra Inggris UnPak, tapi ujung-ujungnya ternyata sebagai anggota klub—bukan klab-malam alias nightclub—aku ngga bisa terlalu efektif sebab lebih “sok-selektif” ke kuliah, BLM, dan teater).

Tapi setelah beberapa lama dalam masa penggalauan (masa penggalauan itu bisa dikatakan masa-masa lulus—melamar ke sana kemari—ga dipanggil interviu—cari kerjaan buat isi waktu—mengisi dompet [yang semakin tipis gara-gara membeli tetek-bengek lamaran kerja dan mengirim surat lamaran yang sakral itu lewat pos] dengan kerja serabutan—jadi freelance translator—kirim lamaran lagi—dipanggil wawancara tapi ga dihubungi lagi alias ga diterima—longok-longok profesi pekerjaan yang menjanjikan laku sebagai calon menantu, baca: guru—akhirnya diterima di suatu bidang—luntang-lantung di kerjaan yang belum menjadi panggilan hati), kusadari: Gusti Tuhan, ternyata hari-hari mudaku sudah terlalu lama berlalu (sok tuanya keluar).

Selama empat pekan menjalani tugas-tugas yang diberikan oleh para atasanku, khayal romantisku tentang “sekretaris redaksi yang cekatan—akhirnya bisa bekerja di bidang yang kuinginkan sejak dulu” terbanting hingga menembus dasar bumi. Layaknya menyusul Jabang Tetuka alias bayi Gatotkaca yang bersemayam di Kawah Candradimuka dalam perut bunda pertiwi. Hanya saja, si bayi Tetuka mahasakti itu akan melesat keluar dari perut bumi dengan penuh keperkasaan dan kepala tegak tanda percaya diri sebagai seorang ksatria digdaya, berbanding terbalik dariku, karena aku ini Yudhistira—oho, khayal absurd lainnya. Lagipula mana mungkin Yudhistira atau Samiaji a.k.a Puntadewa alias Gunatalikrama yang arif bijaksana itu menunduk-nunduk merendahkan diri di hadapan orang lain tanpa memiliki niat untuk maksud lainnya (baca: manuver politik cerdas tanpa perlu menelikung licik hingga kehilangan hati dan jati diri).

Ke-aktif-an yang dulu pernah kumiliki, kini seakan hilang tak berbekas. Respon cepat tanggap yang jelas-jelas “pada zaman dahulu kala” pernah secara alamiah mengalir dalam darahku, tak menyisakan apa pun untuk menolongku sekarang ini. Reaksi gesit waspada bin siaga (ala siapa-antar-jaga suami-suami teladan posyandu) darurat yang pernah meledak-ledak dalam ragaku kini menguap habis ke luar angkasa tanpa menoleh penuh rasa iba pada pemiliknya yang terkatung-katung.

Periode merasa-diri-sendiri-kecil ketika dilempari pandangan merendahkan dan ucapan menyepelekan dari orang lain yang melihatku sebagai “orang rendahan” berkat kostum waitress melekat di tubuhku, masih menempel, seperti lumut di got yang nempel di betis. Sudah dibersihkan dan dicuci dengan air kembang tujuh rupa, tapi aroma renyah sekaligus apek dan busuk lumut ijo (bukan ijo lumut? Ikatan jomblo lucu dan imut? Oh bukan, itu beda lagi, beuh) itu ga hilang-hilang.

Rasa rendah diri dan tak percaya diri itu masih mengendap di dalam hati, dan ketika diaduk-aduk—sama seperti ampas tebal kopi di dasar cangkir—ia menguar lagi. Mengapung dan berbaur bersama zat-zat ga penting lainnya dalam kancah persilatan rohaniku yang penuh dengan penggalauan kalau ngga bisa disebut sebagai dilema.

Entah kenapa, semua itu mencegahku tanpa sadar untuk menatap lurus ke depan dengan kepala tegak dan bahu tegap tanpa perlu membungkuk-bungkuk dan menunduk-nunduk.

Yes. I’m working on it. Desperately working on it. Honestly. No matter what it takes. Asal jangan suruh gue bentak-bentak sedemikian rupa sehingga hati jadi sebeku es tanpa perasaan macam debt collector merampas hasil pengerjaan naskah ke editor/korektor/penerjemah lepas aja—eh, secara gamblang, disuruh berperan jadi debt collector deng ma Bang Bos. Oh, oke. Jangan kuatir, dunia gue ga akan runtuh kok disuruh akting begitu. Kan gue pengalaman akting jadi pengacara tunggal sok jahat. Evil wannabe on stage. Tapi oh tapi… Di panggung kehidupan penuh sandiwara ini, paling-paling gue yang nyungsep macam undur-undur dalam pasir lunak di belakang sisa-sisa proyek tak terurus di megapolitan yang mengelilingi pusat negara.

Sebenarnya, situasi ini sama saja ketika aku, misalnya didapuk berperan sebagai ninja yang memiliki orientasi menjalankan tugas dengan penuh dedikasi rela berkorban nyawa bila tugas itu tak sanggup dirampungkan, lalu seminggu setelahnya mendapat peran menjadi seorang pengacara licik yang hanya memikirkan laba dan kepentingan pribadi dan golongannya tanpa merisaukan nasib orang yang “semestinya” dibela olehnya. Maka Otomatis Romantis (starring Mas Tora Sudiro sang komedian bertato), hanya diberi waktu satu pekan untuk bertransformasi seperti para robot transformers yang beken tea’. Ho-oh, dilematis sangat.

Hey, I’m telling you, I’m working on it. Trust meeeee (mulai melas).

*Wahai Pikiran Absurd, kawani diriku sebentar lagi saja untuk menuntaskan ke-eneg-an yang bikin nyesek ini*

Kemungkinan lain yang masih bisa diterima oleh akal sehatku yang absurd (hipotesis yang jelas-jelas random dan bertentangan) adalah bahwa otakku memang sudah mampet. Ahahay. Setelah bertahun-tahun “dijebloskan” ke dalam lingkungan yang men-judge kecakapan seseorang dari penampilan dan fisik, aku lalu mengalah dan mencomot peluang yang disediakan oleh masyarakat luas untukku: menjadi guru (sebenarnya sih tutor/tentor or whatever you call it di les2an atau bimbel2).

*Mendadak terdengar samar lagu latar No Dream Land oleh Float mengambang di udara*.

Hiding all your true desires and keep all of them mute
Seems the only way to survive
The never ending story of this no dream land
Is on the morning headline all this time
Our hesitation is our every day’s game

To be what we want is everyone’s dream
Man, you know with passion we might win
How many more lies that should blind our eyes?
We can do something to our life

Keputusanku untuk menyerah kemudian mendepakku ke lumpur hisap di mana aku terjebak pada isme-isme yang mengarah pada ketundukanku di hadapan kapitalis. Dan dari situlah segalanya bermula. Sewaktu aku pasrah, aku tidak lagi memiliki sifat “pemberontak” seperti dulu (walau menurut ayah, sisa-sisa idealismeku yang kukira tinggal secuil itu ternyata masih melekat). Maka, sifat penurutku makin menjadi. Akibatnya, aku tak lagi bisa berpikir sendiri untuk menentukan apa-apa, dari hal-hal sepele hingga hal-hal penting.

Tapi tidak, aku tetap menjadi gadis yang tidak manja. Dan aku tidak akan memanjakan diriku hingga kelak. Oh, crap. Mellow Stupido Ritmo.

You and I painting rainbows when no rain falls on our wall
Smelling raindrops on a hilltop as they fall
You and I laughing loudly with no reasons in our walk
Chasing sunsets, dancing minuet in the dark

Why don’t we just dream away
If that could make us stay?
Why can’t we just dream away?
We’re not real, anyway

Why don’t we just stay this high?
Pretend we’re all that fly
Why can’t we just stay this high?
We might rule our own sky.

Aku tidak bermaksud memberikan dalih-dalih absurd dan tidak bertanggung jawab atas kinerja diriku yang payah selama 21 hari ini. Justru aku ingin menyusuri akar juga faktor-faktor yang mempengaruhi diriku hingga aku menjadi seperti ini. Penyebab-penyebab menghilangnya diri ini yang dulu, diri ini yang cakap dalam hal nyelip-nyelip and or nyempil-nyempil meraih kesempatan positif yang terbentang di depan mata dengan gesit. Ke mana raibnya? Ke mana?

(Soundtrack to fade as the sky’s fall down—hayah: ke mana, ke mana, ke mana… di mana, di mana di mana—ala Mpok Ayu Ting-Ting).

Tapi ternyata, sampai di bagian akhir karangan mirip-skripsi ini, aku masih belum bisa menguraikan dengan jelas penyebab nyasar-nya kecakapan diri ini dalam bekerja. And now, all I can do is wishing upon the stars: semoga aku tidak menghancurkan ini dengan tanganku sendiri. Oh yeah. Please, I don’t want to screw up this very one thing. Ouch.

Ugh, sekali lagi, kepalkan tangan dan mantapkan hati. Diri ini menuntut: kembalikan! Kembalikan semangat mudaku, toh aku belum tiga puluh tahun (meminjam “wejangan” UU bahwa pemuda/pemudi RI itu adalah mereka yang berusia enam belas hingga tiga puluh tahun, CMIIW). Agar performa kerja bisa demikian cantik nan ciamik, kini hingga nanti. Karena sekali lagi, back to my wish, deep down there: semoga ini tiga bulan untuk selamanya (seiring theme song Tiga Hari untuk Selamanya membuat hawa mengapung).

Bagai mimpi
Terwujud tak disadari
Kata hati
Tak s’mua didengarkan lagi

Langit biru
Setiap liku jalan itu
Akan s’lalu
Melukiskan kisah itu

Jadi, telah sampailah kita pada Kesimpulan. Well, nothing’s much to say anymore. It’s just: let’s start a brand new day—a brand new episode of life—doing it fine and nice, then done it well.

First of all: Start it with a big fair smile ^_________^ Ganbatte, everyone!